Langsung ke konten utama

Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Pembuktian dalam perkara perdata

Dalam suau proses perkara perdata, salah satu tugas hakim yakni adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan dibuat ada atau tidak. Sebab apabila di dalam surat gigatan yang dibuat oleh penggugat tidak memiliki hubungan hukum sebagaimana yang dijelaskan, maka resiko dalam suatu perkara perdata adalah ditolaknya gugatan oleh Majelis Hakim.
 Pada Pasal 163 H.I.R Penulis akan mengutip yakni  
" Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak,atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan hak itu adanya perbuatan itu."
 Dalam suatu praktek, tentunya tidak lah mudah dalam menerapkan adanya hubungan hukum sebagaimana yang telah di dalilkan dalam gugatan. Untuk dapat membuktikan dalil gugatan tersebut, hendaknya selalu di dasarkan dengan pembuktian yang kuat. Bukti-bukti apa saja yang perlu di ajukan saat persidangan? yakni berdasarkan pasal 164 H.I.R terdapat 5 macam alat bukti yakni
1. Bukti surat
Surat yang diajukan untuk bukti dipersidangan terdapat 3 jenis yakni surat biasa, surat otentik, dan surat di bawah tangan. Kekuatan surat otentik merupakan bukti yang sangat kuat. menurut Pasal 165 H.I.R yang dimaksut akta otentik adalah  yaitu "surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan serta sekalian orang yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak da ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam akta itu. "
2. Bukti saksi
Pada Pasal 171 ayat 2 H.I.R yakni saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar, atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan apa sebabnya dan bagaimana sampai ia mengetahui hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal tidak di pandang sebagai penyaksian.
3. Persangkaan.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu persitiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang.
4. Pengakuan.
Pengakuan yang dilakukan di depan sidang baik yang diberikan oleh yang bersangkutan sendiri maupun melalui kuasanya, merupakan bukti yang sempurna dan mengikat. Hal itu berarti, bahwa hakim harus menanggap bahwa dali yang telah diakui itu adalah benar, meskipun sesungguhnya belum tentu benar, akan tetapi karena adanya pengakuan tersebut, gugatan yang didasarkan atas dalil-dalil harus di kabulkan. 
5. Sumpah.
Pasal 177 H.I.R menyatakan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah tersebut.

Alat -alat bukti dalam perkara perdata tersebut merupakan hak mutlak yang perlu di buktikan ketika penggugat membuat surat gugatan, agar gugatan yang di ajukan di persidangan dapat di terima oleh majelis hakim.


Sumber : Buku Hukum Acara Perdata  dalam Teori dan Praktek 
   



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Syahnya Perjanjian

SYARAT SYAH SUATU PERJANJIAN. Pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pengertian Perjanjian pada Pasal  1313 adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pembuata perjanjian ini didalam hukum tidak boleh asal membuat saja, karena dapat mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum atau dapat di batalkan. Pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menjelaskan syarat syah nya suatu perjanjian yakni  1. Kesepakatan 2. Kecakapan. 3. Suatu Hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.  Maksut dari kata kesepakatan, yakni adalah kedua belah pihak dalam membuat perjanjian harus saling sepakat, tidak boleh adanya suatu paksaan dalam memb...

Contoh gugatan Cerai Talak

Hal : Cerai Talak                                                                                                                                                                                    XXX, 1 Januari 2018                                                                                               ...
BAGAIMANA CARA MENGATASI APABILA PEKERJA/ BURUH DI PHK  SECARA SEPIHAK OLEH PERUSAHAAN? Berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 terdapat point penting yang perlu dijadikan landasan bagi para pekerja ketika diberhentikan secara sepihak oleh Perusahaan agar dapat memahami hak dan kewajibannya yang perlu diperoleh selama bekerja di perusahaan tersebut. Kita perlu mengetahui mengenai jenis pekerja tersebut, melalui PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Ketika dihadapkan melalui pekerja PKWTT maka berdasarkan Pasal 161 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yakni  " Dalam hal pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapa melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja atau buruh yang bersangkutan diberi peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut". Kemudian pada Pasal 151 Ayat 1 ...