Langsung ke konten utama
BAGAIMANA CARA MENGATASI APABILA PEKERJA/ BURUH DI PHK  SECARA SEPIHAK OLEH PERUSAHAAN?

Berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 terdapat point penting yang perlu dijadikan landasan bagi para pekerja ketika diberhentikan secara sepihak oleh Perusahaan agar dapat memahami hak dan kewajibannya yang perlu diperoleh selama bekerja di perusahaan tersebut. Kita perlu mengetahui mengenai jenis pekerja tersebut, melalui PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu).
Ketika dihadapkan melalui pekerja PKWTT maka berdasarkan Pasal 161 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yakni 
"Dalam hal pekerja atau buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapa melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja atau buruh yang bersangkutan diberi peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut".
Kemudian pada Pasal 151 Ayat 1 Berbunyi  
"Pengusaha pekerja atau buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan jangan terjadi pemutusan hubungan kerja".
Sebagaimana dasar hukum yang telah ada tersebut, maka artinya seorang pekerja harus benar-benar menerima surat peringatan sebanyak 3 kali, kemudian apabila sudah terdapat 3 kali surat peringatan tersebut, maka setidaknya Pengusaha / Perusahaan melakukan perundingan dengan pekerja agar jangan sampai terjadi adanya Pemutusan Hubungan Kerja. Namun, apabila Pemutusan Hubungan Kerja tersebut tidak dapat terhindarkan serta tidak terjadi kesepakatan, maka setidaknya harus melalui mekanisme hukum dengan memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Jadi ketika seorang pekerja/ buruh mendapatkan PHK secara sepihak tanpa melalui mekanisme yang telah di atur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut maka PHK tersebut tidak syah dan batal demi hukum sebagai konsekuensinya sebagaimana Pasal 155 Ayat 1 berbunyi "Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 Ayat 3 batal demi hukum"  Dengan adanya hal yang demikian maka pekerja atau Buruh masih memiliki kewajiban dan Hak untuk bekerja di Perusahaan tersebut.
Selain itu apabila pekerja/ buruh memiliki status "Kontrak" atau PKWT mengalami PHK sepihak dari perusahaan maka Pekerja harus mendapatkan ganti rugi upah sampai selesainya batas bekerja selesai sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja berdasarkan Pasal 62 berbunyi 
"Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksut dalam pasal 61 ayat 1, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja atau buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja"
Apabila dalam hal ini masih belum terdapat pemecahan masalah tersebut, pekerja/ buruh dapat melaporkan kepada Dinas Ketenagakerjaan atau Menyelesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial atas tindakan sewenang-wenangan yang dialami oleh pekerja/buruh.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HADIRNYA ADVOKAT DI TENGAH MASYARAKAT Seiring perkembangan zaman yang semakin modern, dan maju dari berbagai segi aspek kehidupan seperti sosial, teknologi, hingga hukum, kini masyarakat dituntut untuk dapat selalu mengikuti berkembangnya waktu tersebut. Perkembangan zaman ini, tentunya membawa dampak yang baik dapat pula membawa dampak yang buruk, seperti dalam perkembangan permasalahan hukum kejahatan yang semakin meningkat dan munculnya modus-modus kejahatan terbaru atau permasalahan hukum yang kompleks. Dalam hal ini agar masyarakat terhindar dari adanya hal tersebut, setidaknya harus mengupgrade diri akan pentingnya memahami ilmu hukum atau berkonsultasi dengan Advokat, ketika menghadapi sebuah permasalahan hukum agar dapat memberikan solusi yang effektif dalam menyelesaikannya.  Secara historis berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, hadir nya advokat/ Penasehat hukum untuk lebih memperhatikan hak asasi manusia terdakwa didalam persidangan.  Advokat berdasarkan

Alat Bukti Dalam Perkara Perdata

Pembuktian dalam perkara perdata Dalam suau proses perkara perdata, salah satu tugas hakim yakni adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan dibuat ada atau tidak. Sebab apabila di dalam surat gigatan yang dibuat oleh penggugat tidak memiliki hubungan hukum sebagaimana yang dijelaskan, maka resiko dalam suatu perkara perdata adalah ditolaknya gugatan oleh Majelis Hakim.  Pada Pasal 163 H.I.R Penulis akan mengutip yakni   " Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak,atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan hak itu adanya perbuatan itu."  Dalam suatu praktek, tentunya tidak lah mudah dalam menerapkan adanya hubungan hukum sebagaimana yang telah di dalilkan dalam gugatan. Untuk dapat membuktikan dalil gugatan tersebut, hendaknya selalu di dasarkan dengan pembuktian yang kuat. Bukti-bukti apa saja yang perlu di ajukan saat persidangan? yakni berdasarkan

Syarat Syahnya Perjanjian

SYARAT SYAH SUATU PERJANJIAN. Pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pengertian Perjanjian pada Pasal  1313 adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pembuata perjanjian ini didalam hukum tidak boleh asal membuat saja, karena dapat mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum atau dapat di batalkan. Pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menjelaskan syarat syah nya suatu perjanjian yakni  1. Kesepakatan 2. Kecakapan. 3. Suatu Hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai perjanjian sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.  Maksut dari kata kesepakatan, yakni adalah kedua belah pihak dalam membuat perjanjian harus saling sepakat, tidak boleh adanya suatu paksaan dalam membuat perjanjian